![]() |
Foto: Ketua Umum HMI MPO Cabang Jakarta Raya. Muhammad Jufri Rumaratu |
JAKARTA - Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang membatasi distribusi LPG 3 kg hanya melalui pangkalan resmi dengan melarang pengecer telah memicu kontroversi luas. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya menertibkan distribusi dan memastikan subsidi LPG tepat sasaran, tetapi pelaksanaannya justru menunjukkan banyak kelemahan yang merugikan masyarakat kecil.
Sejak awal, keputusan untuk melarang pengecer menjual LPG 3 kg terkesan terburu-buru dan kurang memperhitungkan kondisi riil di lapangan. Pengecer selama ini memainkan peran krusial dalam distribusi LPG ke masyarakat, terutama di daerah yang jauh dari pangkalan resmi. Menghilangkan peran pengecer tanpa alternatif yang jelas menciptakan kekacauan dalam pasokan dan meningkatkan kesulitan bagi warga dalam mendapatkan LPG.
Bahlil menyebut bahwa pengecer akan dinaikkan statusnya menjadi sub-pangkalan agar tetap bisa menjual LPG. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses ini tidak sederhana. Banyak pengecer kesulitan memenuhi syarat administratif dan keuangan yang ditetapkan untuk menjadi sub-pangkalan. Akibatnya, kebijakan ini malah berpotensi menggusur mata pencaharian ribuan pengecer kecil.
Setelah kebijakan ini diterapkan, berbagai daerah mengalami lonjakan antrean di pangkalan resmi hingga masyarakat ada yang meninggal hal itu kami menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan Asta Cita Prabowo Subianto dalam Rangka mensejetrakan rakyat.
Selain itu, Masyarakat yang sebelumnya dapat membeli LPG di pengecer terdekat kini harus menempuh jarak lebih jauh dan mengantre berjam-jam di pangkalan yang kapasitasnya terbatas. Ini sangat memberatkan bagi kelompok masyarakat kecil, terutama pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, dan usaha kecil menengah (UKM) yang bergantung pada LPG 3 kg untuk operasional sehari-hari.
Selain antrean panjang, kebijakan ini juga memicu kelangkaan LPG di beberapa daerah karena pangkalan tidak mampu mengimbangi permintaan yang meningkat tajam. Tidak sedikit warga yang akhirnya terpaksa membeli LPG di pasar gelap dengan harga jauh lebih mahal. Ironisnya, kebijakan yang bertujuan menekan penyimpangan subsidi justru menciptakan peluang baru bagi spekulan yang menimbun LPG dan menjualnya dengan harga tinggi.
Pengecer selama ini berfungsi sebagai jembatan antara pangkalan dan konsumen akhir, terutama di daerah pelosok yang sulit dijangkau. Dengan dihapusnya peran pengecer, distribusi LPG menjadi semakin terkonsentrasi di tangan pangkalan besar, yang kemungkinan memiliki koneksi politik atau modal lebih kuat.
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa kebijakan ini lebih menguntungkan pemain besar dalam industri distribusi LPG dibandingkan rakyat kecil. Jika benar kebijakan ini bertujuan untuk memastikan subsidi LPG 3 kg tepat sasaran, seharusnya pemerintah lebih fokus memperketat pengawasan terhadap distribusi di tingkat pangkalan, bukan malah mengorbankan pengecer kecil yang selama ini hanya berusaha mencari nafkah.
Salah satu kelemahan paling mencolok dari kebijakan ini adalah minimnya sosialisasi kepada masyarakat. Banyak pengecer yang baru mengetahui aturan ini setelah diterapkan, tanpa ada kesempatan untuk menyesuaikan diri. Begitu pula masyarakat yang tiba-tiba kesulitan mendapatkan LPG tanpa informasi yang jelas tentang sistem distribusi baru.
Pemerintah seharusnya melakukan uji coba dan transisi bertahap sebelum menerapkan kebijakan dengan dampak luas seperti ini. Jika tujuannya adalah peralihan pengecer menjadi sub-pangkalan, seharusnya ada masa transisi yang cukup agar pengecer bisa menyesuaikan diri dengan persyaratan baru tanpa kehilangan mata pencaharian.
Kebijakan Bahlil Lahadalia yang melarang pengecer menjual LPG 3 kg jelas menunjukkan kelemahan dalam perencanaan dan implementasi. Alih-alih memperbaiki distribusi LPG bersubsidi, kebijakan ini justru menciptakan masalah baru seperti kelangkaan, antrean panjang, kenaikan harga, dan hilangnya mata pencaharian pengecer kecil.
Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap rakyat kecil, maka mereka harus lebih hati-hati dalam merancang kebijakan. Penghapusan peran pengecer bukanlah solusi yang tepat, dan langkah yang lebih bijak adalah memperkuat pengawasan serta memberdayakan para pengecer agar bisa menjadi bagian dari sistem distribusi yang lebih transparan dan adil.
Sebagai pejabat publik, kebijakan ini hanya akan menambah beban masyarakat kecil yang seharusnya menjadi prioritas dalam distribusi subsidi.
![]() |
Flayer aksi HMI MPO Cabang Jakarta raya |
Merespon hal ini Kami HMI Cabang Jakarta Raya menyerukan aksi massa untuk menuntut Presiden Prabowo subianto untuk segera memberhentikan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri ESDM terkait kebijakan yang yang semena-mena sampai menimbulkan korban jiwa
Melalui aksi ini, Kami mengajak seluruh kader HMI MPO Cabang jakarta dan elemen masyarakat untuk bersatu memperjuangkan hak-hak mereka. Pemerintah diharapkan segera merespons kritik ini dengan kebijakan yang lebih berorientasi pada pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.