Iklan

terkini

Opini, Adam Andriantama Perguruan Tinggi Menjadi Sarang Kekerasan Seksual

Admin RP
, Juni 14, 2022 WIB Last Updated 2023-02-08T16:44:05Z

Foto: Adam Andriantama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Jakarta - Sudah ramai diberitakan melalui media online maupun cetak, bahwa banyak terjadi kekerasan seksual di institusi perguruan tinggi. Hal tersebut bukan semata-mata begitu saja terjadi, melainkan memang sudah direncanakan dan/atau karena kesempatan yang dimiliki. Perlu diketahui, beberapa peristiwa kekerasan seksual terakhir yang terjadi justru diduga dilakukan oleh oknum tenaga pendidik kepada mahasiswi-nya. 


Beberapa tahun terakhir, menjadi sebuah citra buruk bagi institusi perguruan tinggi di Indonesia. Karena banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi. Padahal seharusnya perguruan tinggi berfungsi sebagai tempat yang nyaman dan aman bagi para peserta didiknya untuk mendapatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun, justru menjadi sarang terjadinya kekerasan seksual.


Tak perlu terkejut, sebab jika penulis mengutip 3 poin yang terkorelasi secara langsung menurut pendapat yang disampaikan oleh Dzeich dan Weiner mengenai macam-macam kekerasan seksual di institusi Pendidikan. Ternyata hal tersebut memang merupakan hal yang hanya dimiliki oleh beberapa stakeholder penting dalam sebuah institusi Perguruan Tinggi. Diantaranya, yaitu:


1. Tipe “Pemain Kekuasaan”, dimana pelaku melakukan pelecehan seksual untuk ditukar dengan suatu benefit yang bisa mereka berikan kepada korban karena posisi sosialnya. Seperti, mendapat nilai yang bagus, rekomendasi tertentu dalam aktivitas pendidikan;


2. Tipe “Berperan sebagai Fitur Ayah atau Ibu”, dalam hal ini pelaku pelecehan seksual mencoba untuk merajut suatu hubungan antara pelaku dengan korbannya, untuk menutupi hal tersebut, biasanya ditutupi dengan kepentingan yang berkaitan dengan atensi akademik.


3. Tipe “Anggota Kelompok”, tipe ini bagaikan suatu hal untuk dianggap sebagai anggota dari sebuah kelompok. Seperti, pelecehan dilakukan kepada seseorang yang ingin dianggap sebagai anggota kelompok tertentu, dan pelecehan tersebut dilakukan oleh anggota kelompok yang lebih senior. (Myrtati D Artaria:2012) 


Dari kutipan yang telah penulis cantumkan, dapat ditafsirkan bahwa kekerasan seksual dilakukan atas dasar kesempatan yang dimiliki. Namun, kita juga perlu memperhatikan bahwa terkadang memang oknum-oknum tersebut juga sengaja untuk menciptakan peluang agar bisa memenuhi hasrat biologisnya.


Kekerasan seksual yang terjadi dalam sebuah insitusi perguruan tinggi merupakan sebuah hal yang mengkhawatirkan, miris, dan juga membuat masyarakat jengkel. Sebab, perguruan tinggi merupakan sebuah tempat untuk mengeyam pendidikan. Sehingga hal tersebut harus segera diatasi agar perguruan tinggi tetap sebagaimana fungsi dan tujuannya. Selain itu, beberapa penelitian menghasilkan bahwa dampak dari kekerasan seksual diantaranya yaitu, peningkatan penggunaan zat adiktif dan gejala gangguan stres yang pada akhirnya berdampak negatif pada kesuksesan perguruan tinggi dan pribadi korban dalam menjalani kehidupannya.


Kemajuan dalam peraturan-peraturan yang sudah disahkan seharusnya mampu menjadi penyempit ruang gerak bagi oknum dalam institusi perguruan tinggi yang ingin melakukan kekerasan seksual. Sebab, sebagaimana yang tercantum secara eksplisit dalam PERMENDIKBUDRISTEK Nomor 30 Tahun 2021 bahwa intitusi perguruan tinggi berhak untuk membentuk lembaga khusus dalam upaya melakukan pencegahan, penanganan, perlindungan bagi korban dan penerapan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual.


Selain peraturan-peraturan yang sudah disahkan, perlu dipahami secara saksama untuk mencapai harapan dan cita-cita bahwa institusi perguruan tinggi kembali menjadi tempat aman dan nyaman bagi seluruh pihak yang beraktivitas dalam perguruan tinggi, maka sangat diperlukan sinergitas antar civitas akademika untuk sama-sama memberantas dan terus mempersempit ruang gerak bagi oknum pelaku kekerasan seksual.


Namun tidak kalah penting juga, sebagai tindakan preventif dilakukan berupa pemberian edukasi bagi seluruh civitas akademika agar memahami kode etik komunikasi dan tidak bersikap oportunis. Seperti mahasiswa dan dosen menjalin interaksi berlebihan dengan harapan mendapat nilai bagus dan tidak berhubungan dengan urusan akademik.


Oleh: Adam Andriantama (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Opini, Adam Andriantama Perguruan Tinggi Menjadi Sarang Kekerasan Seksual

Terkini

Iklan